[su_tabs style=”default” active=”1″ vertical=”no” class=””]
[su_tab title=”en” disabled=”no” anchor=”” url=”” target=”blank” class=””]
24 January. Post production begins. The brief was fairly complex from the start, as Caglar wanted everything synched before starting to select content. The raw material included footage from three cameras (we were joined for the shoot by Zeyno from London), audio files from boom and clip mics, and all the .SRT files (captions) that Katrin had transcribed and translated.
The first couple days were spent organising all this, with Nuril and Akum editing and Caglar and Zeyno contributing. Everyone seemed to be working on a different editing platform or programme version, adding further complications!
Once the synching was completed, Caglar directed Nuril, Akum and Zeyno each to work on different apects of the editing, creating content for various monitors, projections and AR markers.
At the same time, Caglar began to make decisions about the layout of the gallery and the Augmented Reality setup.
PSBK has been going through an upgrade of their IT systems, in the process of which they acquired lots of new kit. Caglar fell in love with some of the monitors that were no longer being used and decided to hangthemon the first wall as you enter the gallery. The first monitor would show a Bisindo introduction to the exhibition and context for the project. The other three would show silent clips of the three characters.
For a long time, Caglar has wanted to include silences in his work, and this time he was happy to be able to achieve that. During the filming days, he kept saying to the actors: if your characters don’t have anything tosay to each other, it’s okay not to say anything. Ultimately, the exhibition footage includes manyquiet and silent moments.
Another early decision was to use the scenefrom Impro day 2, where the three characters come in from the rain, along with a reverse shot of that scene that was filmed on day 3. These segments would be displayed on two 55-inch screens placed at 90 degrees to each other, in a corner of the gallery area separated by a partition.
For the large wall projection at the centre of the gallery space, Caglar asked Nuril and Zeyno to edit their own short version of the narrativefrom all the footage. Who did they think these characters were and what were their stories?
Right from week 1, Caglar worked with our Jogja Producer, Iteq, and the PSBK team, exploring how the AR markers would function, which images to use as “markers”, what to print on,and where they should go.
Caglar’s motivation for using AR was to provide optional, interactive layers for the audience. People could visit the gallery, and view content on monitors, screens and projections in the space. If they wished, they could move into the outdoor areas to viewthe photos scattered around the garden area. These photos, as well as the photos in the gallery space, would serve as AR markers to trigger additional optional content – more stories and information about the characters – using our mobile phone application.

At the same time,Michael was working with Isti, Ruri and Jeannie to create an audio guide to orient blind and partially sighted people to the PSBK site, guide them into the gallery, offer introduction and context for the exhibition, and describe the videos and photos. This process involved writing, translating and recording the description, then editing it onto tracks posted online as well as available on mp3 players on site.
Zeyno filmed Fikri and Hafid from Deaf Arts Community signing the introduction to the exhibition in Bisindo.
[/su_tab]
[su_tab title=”id” disabled=”no” anchor=”” url=”” target=”blank” class=””]
24 Januari. Pasca produksi dimulai. Arahan dari Caglar cukup rumit sejak awal, karena Caglar ingin semua bahan disinkronisasikan sebelum mulai memilih konten. Bahan yang masih mentah tersebut berupa hasil rekaman dari tiga kamera (kami juga menggabungkan hasil rekaman oleh Zeyno dari London), file audio dari mikrofon boom dan mikrofon klip, dan semua file .SRT (transkrip) yang telah ditranskripsikan dan diterjemahkan oleh Katrin.
Beberapa hari pertama dihabiskan untuk mengorganisir seluruh bahan. Nuril dan Akum menyunting video dengan dibantu oleh Caglar dan Zeyno. Semua orang tampaknya bekerja pada jenis atau versi program penyuntingan yang berbeda, akibatnya semakin rumit!
Setelah sinkronisasi selesai, Caglar mengarahkan Nuril, Akum dan Zeyno untuk masing-masing bekerja pada aspek penyuntingan yang berbeda, baik membuat konten untuk berbagai monitor, proyeksi maupun penanda AR.
Pada saat yang sama, Caglar mulai mengatur tata letak galeri dan susunan Augmented Reality.
PSBK sedang mengadakan peningkatan sistem teknologi informasi, sehingga mereka sedang dalam proses di mana mereka memperoleh banyak peralatan baru. Caglar jatuh hati dengan beberapa monitor yang tidak lagi digunakan dan memutuskan untuk menggantung monitor-monitor tersebut pada dinding pertama saat Anda memasuki galeri. Monitor pertama akan menunjukkan pengantar ke pameran dan konteks proyek tersebut dalam Bisindo. Tiga monitor lainnya akan menunjukkan rekaman bisu dari tiga karakter.
Sejak dulu, Caglar selalu ingin memasukkan kebisuan dalam pekerjaannya, dan kali ini dia senang bisa mewujudkan itu itu. Selama hari-hari pembuatan film, ia terus berkata kepada para aktor: jika karakter Anda tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan, tidak apa-apa untuk tidak mengatakan apa-apa. Pada akhirnya, rekaman untuk pameran mencakup banyak momen yang tenang dan hening.
Keputusan awal lainnya adalah menggunakan adegan dari improvisasi hari kedua, di mana ketiga karakter berlindung dari hujan, lalu disandingkan dengan tampilan terbalik dari adegan tersebut yang direkam pada hari ke-3. Bagian ini akan ditampilkan pada dua layar 55 inci yang ditempatkan membentuk 90 derajat dan teretak di sudut area galeri yang dipisahkan oleh sekat.
Untuk proyeksi pada dinding besar di tengah ruang galeri, Caglar meminta Nuril dan Zeyno untuk mengedit versi pendek narasi mereka sendiri dari semua rekaman yang telah diambil. Menurut mereka siapa tokoh-tokoh ini dan apa kisah mereka?
Sejak minggu pertama, Caglar bekerja dengan Produser Jogja yakni Iteq, dan dengan tim PSBK, dalam mengeksplorasi bagaimana penanda AR akan berfungsi, gambar mana yang akan digunakan sebagai “penanda”, apa yang akan dicetak, dan di mana penanda tersebut harus dipasang.
Motivasi Caglar untuk menggunakan AR adalah untuk memberikan lapisan yang opsional dan interaktif bagi para penonton. Orang-orang dapat mengunjungi galeri, melihat konten di monitor, layar, dan proyeksi di ruang tersebut. Jika mereka mau, mereka bisa pindah ke area luar untuk melihat foto-foto yang tersebar di sekitar area taman. Foto-foto ini, serta foto-foto di ruang galeri, akan berfungsi sebagai penanda AR untuk memunculkan konten opsional tambahan – lebih banyak cerita dan informasi tentang karakter – dengan menggunakan aplikasi ponsel kami.

Pada saat yang sama, Michael bekerja dengan Isti, Ruri, dan Jeannie untuk membuat panduan audio untuk mengarahkan penyandang tunanetra ke wilayah PSBK, membimbing mereka ke dalam galeri, memberikan pengenalan dan konteks untuk pameran, serta menggambarkan isi video dan foto. Proses ini melibatkan penulisan, penerjemahan dan perekaman deskripsi tersebut, lalu disunting ke trek yang nantinya diunggah dan tersedia di pemutar mp3 pada situs.
Zeyno merekam Fikri dan Hafid dari Deaf Arts Community yang memberikan pengantar pameran dalam Bisindo.
[/su_tab]
[/su_tabs]
Comments